Cerpen Jen Kelana: BINGKAI
Malam jatuh. Hitam menyelimuti hamparan angkasa. Kepak
kelelawar terdengar di atas pohon talok yang menaungi kamar pondokkanku. Angin
menyibak kain gorden menyingkap paha-paha mulus jendela. Kelam. Semakin hitam
ketika titik air mulai merasuki telingaku melalui suara seng yang menyeruak
simponi monoton. Kusimak deru angin bercampur hujan, seperti mantra-mantra liar
yang sengaja ditebarkan oleh dukun-dukun yang kehilangan pekerjaannya. Sesekali
blizt di cakrawala turut mewarnai lukisan malam ini, menerobos ventilasi hingga
sekilas menyilaukan mataku.
Aku terbaring di sebuah dipan reot. Bersandar pada bantal
kumal dan berkolaborasi dengan aroma iler menua. Tidak tahu sudah berapa bulan
sarung bantal itu tidak tersentuh air. Sembari kutahan penciumanku, kusimak
irama cempreng di luar. Hujan semakin gila. Hunjaman titik-titik air
seakan-akan ingin meruntuhkan pondokkanku. Memekakkan telinga, apalagi disertai
dengan suara guntur yang tiba-tiba menyala. Berkompetisi bersama deru angin.
Seperti saling atas-mengatasi dan dulu-mendahului. Terkadang gemuruh terdengar
seperti simponi alam hasil besutan Sang Maestro. Ritmis.
Kurapatkan sarung yang juga dekil ke tubuhku. Lumayan
hangat, walaupun bau apek menderaku seketika. Bah brengsek, umpatku. Suasana
pengap semakin menambah dingin. Dan semakin terlihat suram ketika cahaya lampu
tempel hanya mampu menerangi seperempat ruangan. Dinding tempat terpajang
satu-satunya sumber penerangan ini menjadi hitam. Membentuk penumbra. Segera
kuberanjak ingin mengecilkan apinya. Namun, belum sempat aku turun dari
pembaringan aku seperti terhipnotis oleh figura kosong tak jauh dari letak
lampu tempel itu berada.
Orang-orang berlari serabutan sambil menjerit kesakitan.
Berteriak-teriak dengan yel-yel yang tidak kumengerti. Brutal. Bahkan menjurus
ke perbuatan anarkis. Perusakan tempat-tempat umum terjadi di mana-mana.
Penjarahan toko-toko semarak menghiasi menghiasi kekacauan itu. Api menjalar ke
segenap penjuru, melalap habis bangunan-bangunan ibadah. Sesekali terdengar
letusan senjata api. Dan selanjutnya jeritan menyayat yang berkepanjangan.
Kulihat juga bentrokan antar kelompok. Beringas dan saling bantai. Tak
berprikemanusiaan. Nyawa manusia seperti nyawa seekor anjing saja layaknya. Tak
berarti sama sekali. Astaga, gumamku. Terpampang jelas di mataku kepala-kepala
bergelindingan sembari melotot. Entah kepada siapa. Kepala-kepala itu seperti
ingin menelanku. Di sudut itu, di pelataran parkir swalayan itu, di trotoar
itu, di taman-taman itu berserakan bangkai-bangkai manusia. Tapi tunggu,
kuingat-ingat dulu! Kelihatannya aku pernah kenal dan pernah akrab dengan
daerah-daerah ini. Walau tidak begitu jelas, tapi ada perasaan aneh yang
tiba-tiba menyergapku. Ah, bukankah daerah-daerah itu bagian dari negeriku?
Bagaimana mungkin, daerah yang dulu aman tenteram, subur, makmur sekarang
berubah mengerikan? Tetapi tidak salah lagi. Aku rindu dengan senyummu, dengan
keramahanmu, dengan ketulusanmu. Itu dulu. Dan kapan lagi aku dapat menikmati
pesonamu? Katakan padaku, kepada siapa kebencian ini harus kutumpahkan? Kepada
mereka? Mereka siapa? Benarkah mereka? Rasanya kepalaku semakin berat menahan
semua beban ini. Aku tak habis mengutuki penyebab peristiwa yang memilukan ini.
Perlahan bayangan itu mengabur, menipis dan akhirnya lenyap sama sekali dari
pandanganku. Seperti kabut. Aku tertegun di tempatku. Tapi belum habis
keterkejutkanku terpampang fenomena lain di figura itu.
Perempuan-perempuan sintal silih berganti melintas.
Cantik-cantik, dan terus terang kecantikan mereka sanggup membuat laki-laki
takluk. Aku juga tidak munafik. Sebagai seorang lelaki aku bisa memberikan
penilaian dari sudut pandangku. Kalau aku boleh jujur, perempuan-perempuan itu
pasti kuberi nilai di atas depalan dalam skala sepuluh. Dan penilaianku bisa
berubah drastis jika mereka memamerkan senyum, paha, dan dadanya. Buset, aku
menahan liurku yang hampir kering. Tubuh-tubuh mulus itu hanya dibalut
pakaian-pakaian ala suku-suku primitif. Dengan kesekalannya yang begitu
menonjol bahkan terkesan bahenol itu mengingatkan aku pada cerita-cerita
ratu-ratu di pulau putri. Dan tidak perlu heran jika kehadirannya di sini
disambut meriah oleh siapa saja. Tak terkecuali oleh para wartawan yang ingin
sekedar membuat sensasi atau malah hanya menginginkan fose setengah telanjang
perempuan-perempuan itu.
Berlenggak-lenggok seperti peragawati jempolan,
perempuan-perempuan itu menuju ke salah sebuah rutan di ibukota. Lho?! Bukankah
seharusnya mereka pergi ke hotel-hotel berbintang dan berkesan glamour dengan
cafe dan diskotik-diskotik yang menjanjikan hiburan kelas tinggi? Mestinya aku
merasa tidak perlu bersusah payah berpanas-panas hanya sekedar berkunjung ke
penjara ini? Sekali lagi kepalaku mendadak berat sebelah. Bagaimana mungkin?
Sementara mereka dengan santai memasuki ruangan, eh diluar rutan terdengar
teriakan-teriakan. Makin dekat makin keras makin banyak. Astaga! Kulihat
beribu-ribu manusia memadati halaman rutan sambil berorasi. Spanduk-spanduk
berisi kecaman, hujatan, dan caci maki menghiasi hiruk-pikuk mereka. Dalam
kekalutanku sempat terlintas pikiran konyol. “Ah, kupikir tadi mereka para
penggemar perempuan-perempuan itu. Ternyata mereka ‘bengak-bengok’ dengan
berbagai tuntutan.
“Gantung!”
“Eksekusi!”
“Serahkan, biar rakyat yang mengadili!”
Dan entah teriakan apalagi, aku tak sempat menyimak.
Sekarang mereka semakin brutal. Sebagian mereka berusaha merobohkan pagar yang
memisakan mereka dengan rutan. Tetapi usaha mereka mendapat rintangan dari
petugas-petugas keamanan. Dengan gagah dan semangat reformasi tulen mereka
menghalau ke arah demonstran sambil menembakkan peluru karet dan gas air mata.
Banyak di antara demonstran yang terkapar dan berpelantingan, saling dorong
menghindari pentungan petugas. Teriakan semakin membahana. Bahkan kini terlihat
mereka melempari rutan dengan apa saja. Sandal, botol, batu, kaca-kaca sampai
beha ikut memperkeruh keadaan. Tragis!
“Paijo, bangsat kau!”
“Bakar-bakar!”
“Hai, Paijo mampuslah kau!”
Deg. Jantungku seperti berhenti berdetak. Walah, walah baru
aku tahu mereka menghujat dan mengutuk seorang Paijo Suroto. Pantas, pantas!
Dan sudah pasti, perempuan-perempaun tadi adalah ‘gendaannya’.
Betapa beruntungnya Paijo digilai perempuan-perempuan
seperti mereka bayangkan, tidak cuma dua atau tiga perempuan yang datang
membezuknya. Tak terhitung malah. Dan yang membuat takjub, perempuan-perempuan
itu klimis-klimis. Kembali aku menelan ludah. Memang bukan kabar burung lagi
tentang sepak terjang sang Paijo Suroto. Selain ganteng dia juga pembalap
handal, memiliki banyak perusahaan multinasional, dan yang terpenting dia
adalah putra kesayangan sang penguasa yang belakangan kehilangan giginya.
Ompong, pong! Paijo juga doyan perempuan. Don juan, playboy sudah menjadi trade mark-nya. Jangan heran kalau
perempuan-perempuanya seabreg.
Itu baru sedikit kebaikan-kebaikannya. Nah lho, ternyata
dibalik pribadi yang klimis itu menyimpan sejuta kekejaman. Dari teror bom yang
mengguncang ibukota hingga seantero negeri ini diindikasikan dialah dalangnya. Dia
juga tersangka dalang penembakan hakim agung dan banyak lagi aib yang terkoleksi.
Hingga beberapa waktu dia menjadi buronan kelas kakap yang membuat pusing
petugas. Memang brengsek si Paijo itu. Andai saja ada kata yang mampu mewakili kebencianku
selain kata brengsek, pasti aku akan menympahinya tersus-terusan. Persetan,
pikirku.
“Brakk!”
Aku terjingkat. Sekonyong-konyong angin menerobos melalui
pintu yang terbuka dengan paksa. Tempias air hujan membasahi lantai.
Kertas-kertas yang tersusun rapi di atas meja berserakan. Kain gorden
tersingkap melambai-lambai. Figura kosong itu terayun-ayun seirama dengan
hembusan angin. Aku berdiri, segera kututup kembali pintu itu. Di luar angin
menderu dengan dasyatnya. Petir menyambar, kilat sekilas bersirobok dengan
pandanganku; kupandang kembali figura yang menumbuhkan ketakutan di benakku.
Tapi, kosong! Tidak ada apa-apa dengan figura itu. Semua seperti sedia kala.
Hanya dinding kusam yang melatari figura itu. Kuusap mataku, sekan tak percaya.
Juga kosong. Pensaran, kudekati dan kuraba. Tak ada apa-apa. Hanya bingkai kayu
yang sudah tua. Di sana-sini terdapat lubang-lubang kecil dan berbubuk. Itu
pasti pekerjaan ngengat, pikirku. Namun kemudian akal sehatku menari lagi. Lalu
apa yang kulihat tadi? Apakah itu lamunanku saja? Halusinasi? Ah, kurasa tidak
juga. Aku seperti melihat adegan-adegan dalam film melalui figura itu. Aku
seperti masuk ke dalamnya, dan turut larut. Persetan, persetan.
Kembali aku berbaring, mencoba melupakan kejadian tadi.
Kupejamkan rapat-rapat mataku. Kututupi sekujur tubuhku dengan sehelai sarung.
Walau pengap kupaksakan tidur. Malam terus beranjak. Hujan masih saja gila.
Lamat-lamat kudengar kentongan dipukul orang dua belas kali. Iramanya terdengar
sendu dan sebentar menghilang. Suara hujan mengusiknya. Aku terlelap.
“Kau mau mencoba menipuku”, terdengar suara berat.
“Ah, kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Kalau tidak, serahkan sekarang juga barang itu.”
“Kau jangan coba-coba memaksaku!”
“Hei, jadi kau menantangku? Jangan sampai aku marah, cepat
serahkan saja barang itu!”
Aku bersikeras tidak mau menyerahkan barang itu. Orang
tinggi besar itu meraih kerah kemejaku. Menyentak ke atas. Raut wajahnya kelam.
Codet di pipi kirinya menambah kesan menakutkan. Aku mengernyit kesakitan.
Plak! Plak!
Tiba-tiba pandanganku nanar. Beberapa tamparan mendarat
telak di pipiku. Darah mengalir dari kedua bibirku. Asin. Habis juga
kesabaranku. Aku meronta dari cengkeramannya. Dan secepat kilat kukirimkan
tinjuku. Tepat mengenai dagunya. Sempoyongan. Aku terus melabraknya. Namun
belum sempat melabuhkan serangan si tinggi besar itu mengeluarkan pisau lipat.
Aku ngeri juga. Dengan beringas dia mengangsurkan pisau itu ke arah tubuhku.
Aku berkelit, beberapa kali aku terhindar dari sabetan pisau itu. Aku terdesak
dan tidak ada lagi kesempatan untuk menghindar. Aku pasrah. Keringat mengucur
deras membasahi sekujur tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku mempertahankan
selembar nyawaku. Sedikit lagi pisau itu mengenaiku, si tinggi besar itu
terjatuh.
Gdebug!
Aku mengelu sambil meraba kepalaku. Sebelum sadar benar
tiba-tiba, plak! Aku meraba kepalaku sekali lagi. Sial, figura tua itu jatuh
tepat di kepalaku. Serta merta kucampakkan figura itu hingga hancur
berkeping-keping. Brengsek, umpatku. Mendadak kurasakan dingin menjalari
tubuhku. Ketika sadar, ternyata aku berada di lantai. Kuedarkan pandanganku.
Ah, aku meringis dan seakan ingin tertawa. Aku terjatuh di depan tempat tidur.
Busyet, aku hanya bermimpi.
***
Bangko,
Januari 2002
Notes:
Cerpen ini kutulis dua belas tahun yang lalu, tepatnya
bulan Januari 2002. Beberapa hari lalu ketika aku bongkar-bongkar berkas tak
sengaja membacanya pada kliping koran yang dulu memang kukumpulkan. Memang
belakangan ini aku penasaran dengan beberapa tulisanku yang tercecer, salah
satunya adalah cerpen ini. Cerpen ini pernah dimuat mingguan “Suara Jambi”
edisi no. 81/Th. IV/04 – 14 Februari 2002. Sekedar untuk mendokumentasi, kali
ini ku ketik lagi dan kupersembahkan pada pembaca sekalian.
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar