Sastra Kita Sastra Semua

RENDEZVOUS DI MUARA KASIH KETIKA TIGA SUNGAI BERTEMU DALAM SATU BUKU

1 komentar


RENDEZVOUS DI MUARA KASIH
KETIKA TIGA SUNGAI  BERTEMU DALAM SATU BUKU
Oleh    : Asro al Murthawy

Judul   : Rendezvous di Muara Kasih
Penulis : Dimas Arika Mihardja, Rahma Bachmid, Yosy Kasih Azalia
Penerbit: Bengkel Publisher
Cetakan: Pertama, Januari 2015
Tebal   : xvi + 188 halaman
ISBN   : 978-602-1048-07-8
Di Jambi, kita akan dengan mudah menemui dua atau lebih aliran sungai yang bertemu. Hampir semua kota menjadikan muara sebagai salah satu penandanya. Kota Muara Bungo merupakan titik pertemuan antara sungai Batang Tebo dengan sungai Batang Bungo, Muara Tebo adalah muara dari sungai Batang Tebo di sungai  Batanghari. Begitupun dengan Bangko, Sarolangun, Muara Tembesi dan Muara Bulian. Memang, sungai Batanghari yang membelah provinsi ini mengalir dari hulu ke hilir, melewati proses yang panjang dan berliku-liku untuk sampai pada muara, berkumpul bersama aliran sungai yang lain menuju laut. Dan membaca Rendezvous di Muara Kasih ibarat merenangianak-anak sungai itu, dari hulu ke hilir, ulang alik, mencumbui diksi dan pesan cinta para penyairnya. 

Buku bergambarsampul sebuah kursi antik bercat putih, dengan seikat bunga merah di atasnya, di bawah sebuah pohon tua pada sebuah taman itu sudah menyarankan sebuah pertemuan dengan seseorang, yang lama tak bertemu. Atau mungkin sebuah perjumpaan kembali dengan sesuatu, mungkin seserpih kenangan, yang telah lama berlalu,  rendezvous! Tiga nama penyair, Dimas Arika Mihardja (DAM), Yosy Kasih Azalia (YKA), dan Rahma Bachdim (RB), tertera di situ. Satu laki-laki dan dua perempuan, hmm, tentu ada `sesuatu` dari mereka bertiga. Gairah keingintahuan saya terpacu untuk segera menyelami buku setebal 188 halaman + xvi itu.

Dan benar, saya mendapati hamparan puisi yang mengundang dan menyihir kita. Meski DAM dalam pengantarnya menulis:” Seorang penyair bukanlah tukang sihir. Ia seperti air yang seharusnya selalu mengalir menuju muara yang dapat menampung aneka makna lewat kesaktian kata-kata. Penyair tidak dapat menyulap kata-kata, memanipulasi makna-makna, dan tak juga bisa menyihir pembaca dengan serentetan kata.” (hal. v)  Namun, harus saya akui, sebagai pembaca saya terpukau pada rangkaian kata-kata yang ditulis penyair dalam buku ini, dan pola ungkap yang mereka gunakan. 
MENCUBIT BAHAGIA

Tuhan, kebahagiaan ini kuteriakkan ke mana?
Indahnya jawaban-Mu

Nopember 2014

Sayapun tersentak dengan pilihan kata-katanya. Semisal pada puisi yang ditulis DAM berjudul “Ngecas”://Aduh bateray lowbat, ayo ngecas/Kusiapkan jiwa raga untuk satukan tenaga/Aku pun tengadah, pasrah./Terasa dan teraba sesuatu mengalir/Berdesir//Engkau masuk dan menusuk ke ruang hampa/Hatiku penuh memori/Ada lagu tentang kamu/Rindu yang rindang/Gambarmu/Senyummu/Rindumu/Rinduku juga//Cass/Begitu dalam/Cess/Begitu dingin, dan empuk//Hei, kenapa kautimpuk batu?/Rindu./Baiklah kalau begitu/Rindu membiru/Kenapa membatu?//Bantulah aku/Kembalikan daya/Tenaga kata/Ruang maya/Raung meruang//(Hlm. 17-18). Dengan bebas dan santai, DAM mencomot kata-kata lowbat, ngecas, cess,cass dan sejenisnya, merangkainya dengan kata-kata lain dan ajaibnya mampu menimbulkan interpretasi baru di benak kita. Sensasi serupa akan kita dapati pada frase: Aku adalah sapi, merumput di halaman masjid (Narasi Seekor Sapi), juga dalam frase: hidup berasal dari lubang/ menuju ke sebuah liang gelap (Qasidah Cinta Sebelum Ajal Mengekalkan Amal)

Jika antologi puisi ini kita ibaratkan sebagai sebuah muara, akan kita saksikan tiga sungai yang bertemu, saling bercumbu merajut kasih merangkai kata-kata indah penuh makna. Dari ketiganya terpancar kesan dan pesan penyairnya. Ketiga sungai itu adalah 50 puisi DAM, 49 puisi RB dan 50 puisi YKA  Lewat pancaran sinyal cinta yang mereka berikan, kita serasa hanyut dalam aliran masing-masing sungai itu hingga sampai ke sebuah muara.

Sebagai sebuah sungai, puisi-puisi DAM dalam antologi ini, menyarankan sebuah sungai yang lebar dan dalam, dengan tebing-tebing yang kuat dan kokoh. Sungai yang sanggup menampung berbagai persoalan kehidupan yang dilintasinya. Temanya beragam, mulai dari peristiwa remeh temeh semisal ngecas hp hingga yang kental nuansa fiosofi ketuhanannya. Semuanya mengalir pasrah menuju hakekat hidup “Telaga Cinta, Muara Terdalam”://inilah telaga, anakku, menyelamlah/dikedalamannya-Nya, kautemukan/mutiara. senja main mata, katanya/berkacakaca.lihatlah bibir itu merekah/di sekitarnya tumbuh rerumput dan umbut/hei, riak air bergelombang, buih putih/berkejaran di antara gelembung cinta/menyelamlah anakku dalam/dalam. engkau akan memahami isyarat/hidup yang berdenyut//(Hlm.20).

Kepasrahan DAM, setelah mengarungi panjangnya jalan kehidupan, (mungkin banyak yang sudah tahu bahwa sebagai seorang penyair, DAM telah mencatatkan waktu yang cukup lama di dunia kesastraan kita, di samping profesinya sebagai seorang Guru Besar Sastra Indonesia di almamaternya dengan nama Dr Sudaryono, MPd. DAM juga seorang suami dan ayah yang baik.   Bahkan kini telah menjadi seorang kakek)  tersirat dari judul- judul puisinya seperti: Dialog di Ambang Senja, Kumakamkan Petualangan,  Puisi yang Lahir Setelah Dzikir, Senja di Mata Kekasih, Kidung di Malam Puncak dan sejenisnya. Titik kepasrahan terdalam tercermin dalam puisi “Qasidah Cinta Sebelum Ajal Mengekalkan Amal” yang saya kutip utuh berikut ini:

Allah Allah Allah
ya, Allah kulidahkan bahasa jiwa
atas sajadah basah dengan rupa wajah bersalah
setiap saat aku bersijingkat mendekap mesjid
menguntai wirid, merajut tasbih dan tahmid
menjeritkan debudebu yang lekat pada tubuh.

Allah Allah Allah
ya, Allah kupahami bahwa sejatinya hidup berasal dari lubang
menuju ke sebuah liang gelap, pekat, dan dingin
kusadari bahwa di dalam diri ini menganga 9 lubang
lubanglubang itu senantiasa terbuka,terus mengangakan luka
sebab ternyata mulut ini tak pandai melafazkan doa
telinga ini senantiasa dipenuhi angina fitnah dan sumpah serapah
dua mata ini hanya bias memandang gelimang bendabenda
dan memujanya sebagai berhala
dua lubang hidung ini teramat susah mencium wangi sorga
lubang kemaluan dan lubang pembuangan menyemburkan nafsu
setiap saat kulihat syahwat tumbuh di jalan dan kelokan
anakanak zaman diasuh angin malam, penuh impian
di bawah jembatan peradaban, anak anak sejarah
tak pernah tercatat nama dan asal usulnya
di kolong langit makin mewabah aneka penyakit
yang menambah sesak dadaku.

Allah Allah Allah
ya Allah aku berdendang menyuarakan tasbih putih
kafan putih
melati putih
jiwa perih
ya Robbana, aku berlagu dan berguru hanya pada-Mu
kenapa aku dilanda ragu dan cemburu?
denganmu aku memang bias bergurau
tetapi di hadapan-Mu ya Allah
aku hanya debu diterbangkan angin lalu
debu yang hangus dipanggang Cahaya-Mu.

Allah Allah Allah
ya Allah aku berusaha berlagu hanyapada-Mu
kulidahkan resah waktu lalu kunyanyikan dalam sujudku
kusenandungkan salah-khilafku
lalu kubasuh dengan dingin air wudhu
kupadamkan api benci di hati kupadamkan
kupahamkan api sufi di hati kupahamkan
kusahamkan iman dan amalan kusahamkan
kuqatamkan dan kukuburkan dendan di hati kumakamkan.

ya, Robbana
rebana bertalutalu di hatiku yang merindu maghfirahmu
rebana berdentam-dentam siang malam
rasa cinta kulidahkan di atas sajadah basah
tapi resah tak terbasuh dan jiwa masih lusuh dan kumuh.

Allah Allah Allah
ya Allah aku mengarungi lautan gelisah yang membuncah
sebagai ikan aku megapmegap di daratan
tersuruk di lumut dan bebatuan
terdampar mendekap luka sendirian.

Allah Allah Allah
ya Allah kulukai dadaku sendiri denganlafaz doa
kunyanyikan luka hati di dalam geriaptarian jemari
malam kian kelam namun mulut dan batin kutak bias diam
o, tikamkan belati Cinta-Mu sedalam iman
remukkan rusuk Adam sebelum bersemayam
kuburkan luka menganga
di bawah rindang daun kamboja.

ya Robbana, rebana menggema dalam hatiku
yang rindu Senyum Manis-Mu
apa yang kudamba kini hanya satu, ya Kasihku
ampunilah segala dosa dan salahku
Allahuma ya Robbana kubenahi jasad kucuci hati
kubenahi jihat dan niat kubenahi syariat dan hakikat
kusempurnakan tarikan nafas tarekat
untuk selalu terikat dan makrifat
Allah Allah Allah
ya, Allah  rebana cintaku bertalutalu menghalau pisaurisau
dada ini nganga terbuka, berdarah dan bergairah
peluk dan dekaplah aku di kedalaman Cengkeraman-Mu
yang maha Dalam
Yang Maha Pualam
Yang Tak Pernah Diam
: amin!
(Halaman . 54—56).

Limapuluh puisi Yosy Kasih Azalia (YKA) adalah sungai kecil yang jernih, bening belum banyak tercemar limbah. Gemericik airnya membawa para pembaca memahami kemurnian perasaan penyairnya, perasaan seorang perempuan yang lembut, perasaan ibu rumah tangga yang penuh kasih. Puisinya kaya akan diksi dan makna mendalam tentang rindu. Nuansa rindu begitu kental dapat kita nikmati dalam puisi “Lautan Rindu” (Hlm. 142), “Riak Cemburu di Kabut Rindu”(Hlm. 144), “Muara Asa dan Rindu” (Hlm. 145), “Antara Sepi, Aku, dan Kau Rindu”(Hlm. 146), “Kisah Rindu Sang Puan” ((147), “Gerhana Rindu” (Hlm. 148),“Pantulan Rindu” (Hlm. 149), dan beberapa puisi lainya.

Tampaknya YKA, mengancangkan rindu sebagai tema besar puisi-puisinya, sebagaimana pengakuannya berikut ini: “Syair Hati”//Kusudahi pergumulan rindu dan sepi/lalu kupadukan menjadi syair-syair hati/cerita yang tak kenal luka/sebab didalamnya ada rindu tertunda//Sengaja kusimpan kisah kita dalam puisi/agar tak hilang dari fakirnya ilusi dan abadi menjadi memori lawas/yang dikenang selama napas melintas//Lalu segala yang kita catat sebagai puisi/kelak akan menjadi sebuah tempat beratap langit jernih/berdinding udara selembut kasih di sana akan bersua cinta dan airmata/saling berbincang bahagia yang tersita//Setelah puisi lelah bercengkerama, saatnya mengabadikan sepi ke/peraduan, merebahkan rasa di remang kenangan, meninabobokan/luka dengan sudut mata berlinang (Syair Hati, hal. 183)

Dan kerinduan hakiki, adalah kerinduan mahluk terhadap khaliknya, kerinduan penyair pada penciptanya. //Ada banyak hari ketika aku sendiri/kutinggalkan kenanganku/tentang bahasa manusia/tentang carut marut dunia/seperti melupakan hasrat nafsu/demi menemui-Mu pendamai hatiku (Jejak Fana, hal. 129)

Kemurnian pola pengucapan YKA, cenderung membuat puisi-puisinya sebagai curahan hati atau luahan belaka. Seperti sungai mengalir, tanpa jeram tanpa lubuk menghanyutkan sesuatu sebagaimana adanya. Ada daun, dihanyutkannya sebagai daun. Ada cucian, dihanyutkannya sebagai cucian. Ada bangkai, dihanyutkannya sebagai bangkai . Ada rumput, dihanyutkannya sebagai rumput. Sebagaimana sebuah sungai, penciptaan sebuah puisi memerlukan lubuk pengendapan, sebuah perenungan yang lebih dalam lagi, sehingga pesan yang ingin disampaikan tidak tertangkap secara vulgar oleh pembaca, namun membias indah di permukaan air. Sementara jeram-jeram yang terjal, berupa diksi-diksi yang mampu menggelitik dan menohok gairah pembaca, tetaplah diperlukan untuk menambah daya hentak sebuah puisi. Puisipun menjadi lebih beriak, tidak datar seperti permukaan kolam.

Namun satu hal yang mampu menggerakkan hati saya untuk mengacungkan jempol pada penyair wanita ini. Sepertinya, YKA telah lebih dulu menyadari `kemudaan` nya di dunia kesusastraan. Dengan kerendahan hati yang terasa menyentuh, dia (bersama DAM)  menulis sebuah puisi berjudul  “Ajari Aku”:

Ajari aku mengerti suara hati, kelopak bunga resah, bibir pasrah
Ajari aku aksara, akan kueja c-i-n-t-a, merangkai berjuta kisah
pesona, menikmati tiap inci sabdanya,demi sebuah kesucian rasa
Ajari aku makna setia, menyatukan puzzle berserak, burai oleh
kejujuran retak, mampukan utuh? tidak! dan kalaupun bisa, hanya
bak lukisan bulan merah
Ajari aku menghapus rindu, membuat msegalaku terkujur pasi,
hidup segan mati tak sudi, abadi dalamkehampaan hati, mati suri.
 (Halaman. 175)

Saya berharap akan mendapati sebuah sungai yang berbeda ketika merenangi puisi-puisi Rahma Bachmid (RB). Sungai lain yang lebih beriak, dengan tema-tema yang lebih bervariasi. Terlebih setelah membaca kata-kata DAM : “Penyair YKA dan RB, di mata saya tidak hanya mengenakan jilbab, melainkan dalam sikap dan perilakunya—terutama pada puisi yang ditulis selalu berbalut nilai religius, bermuatan moral, dan di sana-sini memuat filosofi tantang kehidupan personal, sosial, dan kemanusiaan pada umumnya”  Namun ternyata, sungai yang saya dapati hampir mirip dengan sungai puisi YKA yang telah saya renangi,

Ada 49 puisi yang ditulis Rahma Bachmid (RB) yang diikutkan dalam antologi ini.  Ada puisi yang padat pendek, ada yang panjang. Membaca puisi-puisi RB dalam buku ini seperti membaca buku harian  seorang perempuan muda yang berbentuk puisi. Didalamnya tersirat pengharapan, kesedihan,  kerinduan, kebahagiaan dan  yang pasti : kegalauan yang terangkai indah dengan pilihan kata yang ketat dan terjaga. Dan ini bukanlah diary biasa: “Mengorek Luka”//Tutuplah diarymu, Ra, apalagi yang kautulis?/Bukankah telah kauceritakan pada hujan di kota tua/hingga lampu-lampu jalanan pun redup/baiknya kunyalakan lilin menembus cahaya hatimu/tapi kau mencegahku membiarkan serpihan itu larut/Entah apalagi yang kautulis, Ra/(terkadang kamu meremas gulungan kertas/atau pun kakimu menghentak/nafasmu pun berbunyi berat/keningmu terangkat tak jelas/dan di balik cerutuku, kau memandangiku tajam)//(Halaman. 70-71)

Galau serupa dapat kita temui dalam puisinya yang lain berjudul  “Karam”://Kubakar cintaku di tiang-tianghati/dari segala kerapuhan yang kujaga selama ini/api berkobar membaramenyala-nyala/di sisa pembakaran/kayu-kayu cinta pun hangus terbakar//(Hlm.87) dan puisi-puisi lainnya semisal: “Bersaksi”(Hlm. 65), “Menjemput Malam” (Hlm. 67), “Menatap Gerimis” (Hlm. 68), “Malam Pun Pergi”, “Merangkai Cemburu” (Hlm. 78), “Menyayat Hati” (Hlm.  86), “Merobek Nasib” (Hlm.107).

Nuansa cinta juga dapat kita tangkap, membias dari puisi-puisi RB. Ungkapan cinta yang samar namun tegas, perih namun indah , terbalut dalam metafor-metafor yang sedap dinikmati.  Mari kita nikmati puisi-puisi cintanya di bawah ini :

TERTINGGAL

Aku lupa,
lupa membawa pulang hatimu,
masih tertinggal di sini
lalu dengan apa kukembalikan,
jeritanku yang meneriakkan namamu

maaf, belum kukembalikan hatimu
masih tersimpan, tertinggal di sini, di belahan hatiku
dan dengan apa kukembalikan,
hatiku pun masih menjerit, mengingatmu
(Halaman 73).

Satu hal yang bisa saya catat dari puisi-puisi RB adalah kepiawaiannya mendeskripsikan suasana. Diksinya terjaga, dipilih sedemikian rupa, hingga mampu menciptakan kesan- kesan imajis di benak pembacanya. Simaklah:

MENJEMPUT MALAM

senja berbaring
hening. Ada yang masih terjaga
mengeja geriap senyap, penuh harap
akankah kujumpai malam?
November 2014
(Halaman 67). 
 
Itulah tiga batang sungai yang mengalir membawa ekspresi diri masing masing penyairnya dan bertemu di muara ini. Muara yang penuh kasih. Jangan dulu beranjak, pandanglah lagi muara itu! Kita bukan hanya akan terhibur menatap permukaannya yang indah. Kita dapat merenangi ketiganya sambil memahamkenali segala ekspresi, emosi, dan esensi dari pemikiran penyairnya. Kita juga dapat menyelam lebih dalam, untuk menemukan makna hakiki. Selamat ber-Rendezvous di Muara Kasih.
Sanggar IMAJI Bangko, Rajab 1436 H

Asro al Murthawy,  banyak orang terlanjur menyebutnya sebagai penyair. Juru Sensus pada Kantor BPS Merangin dan pengasuh sanggar IMAJI Bangko.


1 komentar :

  1. Assalamualaikum Imaji...
    Ulasan Mas Asro terlampau membuat saya berharap buku yg satu ini bisa saya santap, sungguh nikmat bahkan sebelum saya kecap...sudilah kiranya memberikan informasi dimana saya bisa mendapatkan buku ini.... ^_^
    Salam Puisi

    BalasHapus