Sastra Kita Sastra Semua

Cerpen Asro aW : Akulah Si Tupai Jenjang

Tidak ada komentar
Source: lagak.blogspot.com
Aku adalah Si Tupai Jenjang. Generasi yang hilang dari Bumi Sakti Alam Kerinci. Sebagai anak yang terbuang, aku memendam semacam dendam. Bukan pada orang seorang, tetapi pada kenyataan. Kenyataan pahit yang terus kukecap sepanjang perjalanan hidupku.
        Kini, aku datang. Bukan lagi sebagai anak generasi penurut, tetapi katakanlah aku membangkang. Sebenarnya aku bukanlah pembangkang. Aku cuma ingin segalanya jelas terbentang. Makanya jangan heran bila aku datang menuntut keterusterangan. Jika kalian melihat aksi-aksi unjuk rasa di televisi-televisi, atau membacanya di koran-koran, di Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujung Pandang, atau di kota kalian ini, akulah dalangnya. Jika tersiar kabar terbongkarnya kasus korupsi, manipulasi, penculikan-penculikan, akulah yang berada di belakang layar mengobrak-abriknya. Aku memang punya hobi mengaduk-aduk kegelapan untuk kemudian menerawangkannya hingga tampak transparan. Sejelas-jelasnya. Maka jika ada sedikit saja gejala unjuk rasa, entah di depan kantor kalian, di jalan-jalan, di kampus-kampus carilah aku. Aku pasti ada ditengah-tengahnya.
            Kendati secara fisik kita tak pernah berjumpa, jangan sekali-sekali menyangka aku telah mati. Atau diculik dan dibuang ke luar negeri. Sekali-lagi jangan. Sampai hari ini aku masih segar bugar. Maka hati-hatilah. Apalagi jika kalian senang dan terlanjur ‘ketagihan’ bergelap-gelapan. Aku akan senantiasa muncul saat kegelapan tiba di klimaksnya. Bukan seperti dongeng-dongeng drakula itu, aku datang justru untuk memerangi kegelapan. Aku akan dengan mudah menjelma pamflet-pamflet, spanduk, poster, puisi atau sekedar isu yang beredar di warung-warung kopi untuk terus melawan kegelapan.
            Tekadku untuk menjadikan yang gelap menjadi terang benderang mendarah daging sedemikian kentalnya dalam tubuhku. Bukan lantaran apa, proses awal kelahiranku hingga aku sebesar ini selalu saja diliputi kegelapan. Kegelapan yang justru diciptakan oleh orang-orang yang begitu tahu akan kejelasan jati diriku. Begitu pandainya mereka menjadi aktor untuk menghitamkan jejak kelahiranku sebagai penerus generasi.
            Mula-mula adalah harapan. Pengharapan akan lahirnya seorang anak yang akan menjadi penyambung jejak keberadaan kedua orang tuaku, Rajo Mudo Pangeti dan Puti Bungsu. Alangkah lamanya pengharapan itu bersarang dalam benak bapak ibuku.
            “Sudah belasan tahun kita menikah, tetapi anak yang kita harapkan belum juga menunjukkan tanda-tanda kehadirannya.” acap kali ayahku berkata demikian.
            “Barangkali saja Tuhan belum berkenan memberinya, Bang!” Kesabaran ibuku adalah kesabaran seorang petani menunggu benih yang ditanamnya bersemi, tumbuh dan berubah.
            Makin dipendam, makin besarlah pengharapan bapak ibuku. Makin dilupa, makin terpahat jelas di dinding hati mereka. Lebih-lebih ibuku. Naluri kasih yang dipunyainya memberinya kerinduan yang teramat sangat, kedambaan yang kuat, akan hadirnya buah hati belahan jiwa. Dimanakah muara kasih sayang seorang ibu kalau buah hati yang ditunggu-tunggu tak juga muncul? Keprihatinan yang dalam membawanya dalam titik hadir kepasrahan.
            “Biarlah hanya berbentuk tupai jenjang, aku akan menerimanya setulus hati asal kami dikaruniai anak.” ucapnya suatu waktu saat termenung di palasa rumah.
            Dan Tuhan Maha Mendengar. Tak ada doa yang lebih tulus dibanding dengan doa seorang ibu yang sedemikian pasrah. Maka tanda-tanda kehadirankupun dinampakkanNya. Perut ibuku kian membuncit, semakin lama semakin membesar, tanda kehamilan.
            Alampun bersiap menyambutku. Padi berisi, buah-buahan menjadi. Unggas dan ikan begitu jinak datang sendiri. Seluruh alam Kerinci berseri. Dan yang paling berbahagia adalah bapak ibuku. Pengharapan yang begitu lama mereka nantikan telah tiba diambang pintu.
            Maka berbenahlah mereka sebaik-baiknya. Rumah dihias warna warni, taman ditata lebih asri. Lumbung padi penuh diisi. Disiapkan pula beragam buah-buahan dan sayur-sayuran. Juga kerbau, kambing, ayam itik dan sapi. Undangan kenduri telah disebarkan jauh-jauh hari. Tak ada yang tinggal. Semua bersiap menyambut kedatanganku.
            Tetapi,
            “Dia bukan anakku!” gelegar suara ayahku memetir di siang hari, meledakkan amarahnya justru di saat kelahiranku.
            “Tapi, Bang! Dia……”
            “Tidak. Dia bukan penerus generasiku. Tak mungkin aku mewariskan sejarah keberadaanku pada generasi coreng moreng seperti anak terkutuk ini. Aib,. Aku membunuhnya.”
            “Ooh…, Kumohon jangan! Dia anakku. Darah dagingku. Ibu mana yang akan merelakan anak kandungnya mati di tangan ayahnya sendiri?”
            “Tapi aku tak sudi melihatnya lagi. Bukankah kelahiranku atas andil mereka juga? Bukankah doa, niat dan iktikad merekalah yang menjadikan tubuhku coreng moreng begini?
            Andai aku boleh memilih, tentu aku akan memilih lahir sebagai anak yang tampan, tegap dan menyenangkan hati. Andai aku boleh memilih, tentu aku akan memilih lahir sebagai manusia yang sempurna. Tapi takdir telah memilihkan jalan hidup yang mesti kutapaki. Takdir telah menjadikanku sebagai seekor tupai. Tupai Jenjang.
            Kini aku kembali. Aku ingin membuktikan bahwa keberadaanku tidaklah sia-sia. Aku ingin membuktikan bahwa kasih sayang ibu bukanlah hal yang tak ada gunanya. Kesalahan-kesalahan ayahku yang sengaja menciptakan kegelapan-kegelapan yang melingkupi sepanjang hidupku harus kuakhiri. Kukoreksi.
            Akan kuumumkan pada dunia, bahwa akulah pewaris sah alam yang permai ini, Alam Kerinci. Akulah keturunan Rajo Mudo Pengeti dan Puti Bungsu. Kendati terlahir sebagai seekor tupai jenjang, kendati tampil sebagai generasi yang coreng moreng aku tak peduli. Di tanganku masa depan negeri ini ditaruhkan.
            Maka jangan kalian heran, kalau masih saja ada unjuk rasa di mana-mana. Jangan kalian heran kalau masih saja ada penuntutan kejelasan prosedur dimana-mana. Jangan kalian heran kalau tuntutan transparansi berjangkit, bagaikan penyakit malaria menulari semua orang. Sekali lagi jangan heran. Karena aku, Si Tupai Jenjang, masih segar bugar dan selalu saja ada di tengah mereka.

Catt :                                                              
Palasa  : teras

Tidak ada komentar :

Posting Komentar